TUGAS
AKHIR SEMESTER
REVIEW JURNAL
DISUSUN UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATA KULIAH KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
DISUSUN OLEH:
FEBI SAIFUL MUJAB
NPM: 062308001
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
STISIPOL CANDRADIMUKA PALEMBANG
TAHUN 20
23
A.
JURNAL PERTAMA
Judul Jurnal
INTERCULTURAL
COMMUNICATION AT HIGHER EDUCATION
CONTEXT: PORTRAITS AND PRACTICES
KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA PADA PENDIDIKAN TINGGI
KONTEKS: POTRET DAN PRAKTEK
Penulis
Muh.
Basri Wello
Universitas Indonesia Timur
Email: Mbasriwello6@gmail.com
Sahril
Nur
Universitas Negeri Makasar
Email: Sahril@gmail.com
Astuti
Azis
Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa
Email: tuty_asiz@yahoo.com
Publikasi
Jurnal
Pendidikan Bahasa Internasional, Vol. 1 No.2 Tahun 2017 hlm.8-16
Reviewer
Febi Saiful Mujab / NPM: 062308001
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu
Komunikasi
STISIPOL Candradimuka Palembang
Diakses Pada Tanggal
Sabtu,
01 Juli 2023, Pukul 13.36 WIB
Latar Belakang Penelitian
Dalam
beberapa dekade terakhir, Intercultural
Competence
(IC) menjadi lebih populer dan dianggap sebagai mata pelajaran yang mandiri.
Beberapa universitas memperkenalkan program dalam bentuk workshop, beberapa
lainnya menjalankan program pertukaran, beberapa mengundang pembicara tamu dari
budaya yang berbeda di kelas dan banyak lagi. Nampaknya IC kini menjadi
tuntutan dan tujuannya semakin meluas. Program ini telah berubah menjadi
sebuahsubjek wajib untuk memiliki komunikasi yang relevan dan efektif. Seperti
yang dinyatakan sebelumnya kursus ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa untuk
memahami orang lain, budaya mereka dan menghadapi setiap insiden antar budaya
di masa depan. Poin terakhir adalah tujuan utama dari penelitian ini, khususnya
mempersiapkan siswa bahasa Inggris bisnis dengan informasi dan keterampilan
terkait antar budaya yang dapat membantu mereka mengatasi konflik dan potensi guncangan
di kemudian hari.
Dalam
upaya untuk memenuhi tujuan ini, kami mencoba menyajikan praktik berbasis bukti
di bidang kompetensi antar budaya. Dalam artikel ini, saya memberikan ulasan
tentang studi tentang kompetensi antar budaya dari lima negara berbeda. Tujuan
dari tinjauan ini adalah untuk menyajikan penelitian dari konteks yang berbeda,
model komunikasi antar budaya yang dikembangkan dalam pengaturan tersebut dan kemungkinan
model adaptif untuk mengembangkan pelajaran dalam pengaturan pendidikan tinggi.
Tujuan Penelitian
Penelitian
dalam jurnal bertujuan untuk menyajikan penelitian dari konteks yang berbeda,
model komunikasi antar budaya yang dikembangkan di lingkungan tersebut dan
model adaptif yang mungkin dikembangkan di lingkungan pendidikan tinggi
Indonesia.
Studi Data Penelitian
Data
diperoleh dari tinjauan yang cermat terhadap artikel internasional tentang
studi komunikasi antar budaya dengan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi.
Kajian
yang ditulis sebagai resensi buku (Snow, 2015; Weng, 2015); dilakukan di
institusi lain seperti layanan kesehatan mental (Bourjolly, Sands, Solomon,
Stanhope, Pernell-Arnold, & Finley 2005); atau basis komunitas (Barker, 2015),
mempekerjakan guru daripada siswa (Ngai & Janusch, 2015); diterapkan untuk
situasi nyata seperti pariwisata (Kirillova, Lehlu, Ces, 2015) & untuk
pekerja (Martin & Nakayama, 2015); Studi yang menyelidiki survei tentang kesediaan
untuk terlibat dalam interaksi antar budaya (Kassing, 2009) dan studi yang dilakukan
sebelum 2009 (Wasonga & Piveral, 2004) tidak disertakan.
Metodologi Penelitian
Penelitian
pengembangan ini menggunakan metode
Review Jurnal. Ulasan ini dibagi menjadi lima bagian. Yang
pertama menjelaskan penelitian diikuti dengan deskripsi metode yang digunakan
untuk penelitian. Bagian ketiga memberikan gambaran dari artikel yang dipilih.
Bagian empat membahas dan mengkritik artikel dan ditutup dengan ringkasan
ulasan.
Peneliti
mencari di mesin pencari internet, pencari jurnal, dan sarjana google di bidang
komunikasi antar budaya, kompetensi antar budaya, pemahaman antar, dan
pembelajaran yang efektif. Berbagai pencarian literatur menghasilkan 16 studi
yang membawa saya untuk menerapkan kriteria eksklusi dan inklusi.
Untuk
dimasukkan dalam ulasan ini, artikel harus merupakan studi penelitian yang
meneliti komunikasi antar budaya atau kompetensi antar budaya. Kriteria studi
inklusi yang dilakukan di lingkungan pendidikan tinggi, dicapai dalam konteks yang
berbeda untuk menghadirkan keyakinan yang berbeda dan faktor terkait, dilakukan
dalam pembelajaran bahasa atau konteks komunikasi dan diterbitkan dalam tahun
2009 hingga 2015.
Hasil Penelitian
Hasil
kajian mengungkapkan bahwa budaya masih menjadi isu terbesar yang dapat
menghalangi komunikasi yang efektif dan relevan. Oleh karena itu, komunikasi
antar budaya (IC) secara positif berkontribusi pada pengembangan kepekaan
budaya dan terbuka untuk adaptasi untuk bekerja dalam konteks yang berbeda.
Saran tentang model pendidikan antar budaya yang efektif di tingkat universitas
dan contoh hubungan kolegial yang dapat diterapkan di kalangan akademisi juga
diberikan.
Kesimpulan
Komunikasi
antar budaya menitikberatkan pada pentingnya memahami bahasa dan latar belakang
budaya orang lain agar tercipta komunikasi yang tepat dan efektif. Artikel ini
mengulas beberapa studi tentang kompetensi antar budaya dari lima negara yang
berbed, bagaimana subjek mereka
dikembangkan dalam lingkungan dan model strategi yang efektif untuk diadaptasi
dan diadopsi. Ditemukan bahwa semua penelitian merekomendasikan IC untuk
menjadi subjek independen. Namun masing-masing setting menunjukkan strategi
yang berbeda yang menunjukkan adaptasi terbuka dari konteks lain seperti
Indonesia. Setting Barat yang diwakili oleh Potugal, Jerman dan USA
merekomendasikan bahwa IC adalah strategi yang tepat untuk berpartisipasi dalam
dunia global. Peneliti juga menyarankan agar kurikulum dikembangkan dengan
hati-hati untuk memenuhi kebutuhan siswa/masyarakat. Sebaliknya, Hong Kong,
Shanghai, Singapura, dan Indonesia yang mewakili konteks ketimuran, menyiratkan
bahwa mereka menyadari pentingnya arah tersebut dan berencana mempersiapkannya secara
lebih khidmat untuk menyongsong pasar bebas.
Sederhananya,
ini tidak cukup untuk menggeneralisasi masalah pemahaman antar budaya yang
berarti bahwa eksplorasi lebih jauh dan lebih dalam di lapangan diperlukan
untuk mengatasinya. Belajar dari kajian-kajian yang disajikan dalam review,
melakukan penelitian sejenis dalam paradigma kualitatif dan menggunakan
berbagai metode pengumpulan data seperti observasi dan analisis dokumen
tampaknya berguna untuk menyajikan data yang lebih akurat.
Catatan
lain dari tinjauan tersebut adalah bagaimana menginterpretasikan beberapa
pendekatan yang diperkenalkan dalam studi. Mempertimbangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan program, adaptasi dan penelitian lebih lanjut dalam mempersiapkan
pendekatan yang relevan dan cocok untuk diterapkan di Indonesia patut
dipertimbangkan.
Beberapa
ide awal yang harus dilakukan antara lain merefleksikan budaya sendiri, membuat
aktivitas yang dapat menghasilkan perolehan pengalaman, dan menjalankan diskusi
tentang gaya komunikasi.
B.
JURNAL KEDUA
Judul Jurnal
CROSS
CULTURAL CONTEXTS IN ENGLISH LANGUAGE TEACHING
KONTEKS
LINTAS BUDAYA DALAM PENGAJARAN BAHASA INGGRIS
Penulis
Ingrid
Brita Matthew
FBS
State University of Padang
Publikasi
Lingua
Didaktika Volume 7 No 1, Desember 2013
ISSN:
1979-0457
Reviewer
Febi Saiful Mujab / NPM: 062308001
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu
Komunikasi
STISIPOL Candradimuka Palembang
Diakses Pada Tanggal
Sabtu,
01 Juli 2023, Pukul 13.50 WIB
Latar Belakang Penelitian
Titik
tolak tulisan ini adalah agar semua guru bahasa Inggris
dapat mengajar, baik secara eksplisit maupun implisit, tentang budaya. Salah
satu alasan utama dan asumsi di balik judul seminar ini adalah bahwa Bahasa adalah
bagian dari budaya. Budaya masyarakat yang telah menggunakan bahasa Inggris
selama ratusan tahun dibangun ke dalam bahasa Inggris. Yang lainnya, mengikuti
Sapir dan Whorf, akan mengatakan bahwa Bahasa yang kita gunakan mengendalikan
cara berpikir kita. Khususnya budaya Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara,
tetapi juga budaya Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru pada
tingkat yang lebih rendah di bagian selatan Afrika dan India serta
negara-negara sekitarnya. Saat berbicara bahasa Inggris, budaya ini kurang
lebih diasumsikan. Terlebih lagi jika percakapan berlangsung di negara berbahasa
Inggris. Lebih sedikit jika percakapan dilakukan di negara yang tidak berbahasa
Inggris. Budaya yang dibahas hari ini, demi kesederhanaan, bisa disebut 'budaya
berbahasa Inggris'.
Budaya
berbahasa Inggris adalah budaya Barat dan sangat berbeda dengan budaya Indonesia
yang Timur. Mungkin ada anggapan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan budaya
harus diserahkan kepada guru mata pelajaran itu. Namun budaya begitu
komprehensif, meresap dan relevan dengan setiap bagian dari pembelajaran bahasa
Inggris sehingga saran dalam makalah ini adalah bahwa dalam mata pelajaran bahasa
Inggris lainnya, dan juga di sekolah menengah, guru bahasa Inggris dapat dan
harus dengan sengaja mengajarkan budaya saat mengajar Bahasa.
Sebagai
guru bahasa Inggris kita sering berada dalam konteks lintas budaya. Selama
berjam-jam setiap minggu kami tenggelam dalam lingkungan berbahasa Inggris.
Kami sampai batas tertentu beroperasi dengan cara berbahasa Inggris saat kami mengajar
bahasa Inggris, membaca, meneliti, menjawab email, mempersiapkan seminar, dan sebagainya.
Namun sisa waktu kami beroperasi dalam budaya berbahasa Indonesia, atau budaya berbahasa
Minang, atau budaya Tionghoa-Indonesia atau yang lainnya. Padahal kita hidup di
lingkungan yang multikultural.
Pertanyaan
krusialnya adalah: apakah siswa kita menghadapi konteks lintas budaya dengan
cara yang sama seperti yang kita lakukan? Dalam beberapa hal jawabannya adalah
'tidak, belum'. Beberapa siswa kami tidak pernah berinteraksi dengan orang yang
bukan orang Minang. Namun itu agak tidak biasa. Sebagian besar siswa kami memiliki
teman yang bukan orang Minang. Oleh karena itu mereka terpapar setidaknya
beberapa etnis dan budaya lain di Indonesia. Pengalaman mereka tentang budaya
Indonesia lainnya sebenarnya merupakan titik awal yang baik untuk analisis
lintas budaya. Dengan cara ini jawabannya adalah 'mungkin'. Selain itu beberapa
siswa kami telah berinteraksi dengan orang asing. Mereka memiliki pengalaman
berkomunikasi dalam konteks lintas budaya. Dengan cara ini jawabannya bisa 'ya'.
Apakah
siswa kita memilikinya konteks berbicara untuk menguasai bahasa Inggris sama sekali.
Siswa kami dapat menyelinap ke budaya berbahasa Inggris saat mereka masuk ke
ruang kelas kami, dan kembali ke budaya mereka sendiri saat kelas berakhir,
dengan cara yang sama seperti yang kami lakukan dalam kehidupan profesional
kami. Kami merugikan siswa Bahasa Inggris jika kami tidak memberi mereka tempat
yang aman untuk mengalami dan mempraktikkan budaya berbahasa Inggris dan
menegosiasikan pengalaman lintas budaya ini.
Tujuan Penelitian
Penelitian
dalam jurnal bertujuan untuk menyajikan penelitian dari konteks lintas budaya
dalam Pembelajaran Bahasa Inggris. Agar semua guru bahasa Inggris dapat
mengajar, baik secara eksplisit maupun implisit, tentang budaya. Salah satu
alasan utama dan asumsi di balik judul seminar ini adalah bahwa Bahasa adalah bagian
dari budaya.
Makalah ini
mencerminkan kebutuhan siswa bahasa Inggris untuk mengalami 'budaya berbahasa
Inggris'. Karena kelangkaan konteks alami untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris
di Sumatera Barat, guru bahasa Inggris harus menyediakan konteks berbahasa Inggris
dan analisis lintas budaya yang sedang berlangsung. Beberapa cara guru lintas kurikulum
dapat memberikan konteks budaya berbahasa Inggris dan menerapkan analisis lintas
budaya saat mengajar dibahas. Model budaya 'bawang' dihadirkan untuk menunjukkan
bahwa budaya bukan hanya 'apa' tetapi juga 'bagaimana' dan 'mengapa'.
Contoh
diberikan tentang bagaimana budaya dapat diajarkan secara eksplisit dan
implisit.
Studi Data Penelitian
Data
diperoleh dari tinjauan lapangan terhadap siswa dan guru Bahasa Inggris di
dalam proses pembelajaran di Provinsi Sumatera Barat.
Metodologi Penelitian
Penelitian
pengembangan ini menggunakan metode
pendekatan kualitatif melalui kajian ilmiah Relation Assumptions and Behavior dengan Model budaya 'bawang' dihadirkan untuk menunjukkan
bahwa budaya bukan hanya 'apa' tetapi juga 'bagaimana' dan 'mengapa'.
Hasil Penelitian
Hasil
kajian mengungkapkan bahwa ada beberapa nilai budaya berbahasa Inggris utama
yang membantu menjelaskan sejumlah besar perilaku bahasa Inggris. Peneliti
seperti Hofstede telah menyusun daftar lebih dari dua puluh skala budaya, dan
menunjukkan betapa pentingnya menyadari perbedaan budaya ini saat berkomunikasi
dengan orang, misalnya di lingkungan bisnis. Mungkin yang paling relevan untuk
tujuan kita saat ini adalah individualism (versus fokus kelompok), yang
seringkali juga berkorelasi dengan kemandirian (versus ketergantungan).
Egalitarianisme (versus hierarki dan otoritarianisme). Peran gender yang serupa
(versus peran gender yang berbeda). Dan keterusterangan (versus ketidaklangsungan).
Keterusterangan dihubungkan dengan kepekaan yang rendah terhadap konteks
sekitarnya. Ketidaklangsungan yang ditemukan dalam budaya Timur terkait dengan
kesadaran yang tinggi akan situasi tersebut. Di kelas sastra, siswa mungkin
membaca tentang ayah yang tinggal di rumah. Perilaku ini akan lebih dipahami
jika nilai budaya berbahasa Inggris abad ke-21 tentang peran gender yang serupa
juga dibahas. Di setiap jenis kelas bahasa Inggris, siswa bertanya mengapa
penutur bahasa Inggris tidak bertanya kepada kenalan dalam percakapan pertama tentang
gaji, status romantis dan perkawinan, berat badan, dan mereka juga tidak
mencoba berfoto dengan mereka. Topik topik dan perilaku tabu dapat
menguntungkan dikaitkan dengan diskusi budaya kelompok dan non-kelompok.
Level
diagram bawang ini diberi label 'mengapa', dan menjawab pertanyaan 'mengapa
kita melakukan apa yang kita lakukan?' seperti pada contoh di atas. Bagaimanapun
inti dari budaya yang mengendalikan asumsi-asumsi yang baru saja disebutkan dan
juga semua perilaku adalah pandangan dunia. Pandangan dunia terdiri dari semua
kepercayaan (agama, ilmiah, dll.) serta tujuan dan sasaran suatu budaya.
Kesimpulan
Bagian
dari kegembiraan dan tantangan berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris bagi
siswa kami adalah untuk dapat melakukannya dalam konteks budaya berbahasa
Inggris. Konteks ini sebagian besar di depan siswa dalam karir masa depan
mereka. Namun intinya telah ditekankan bahwa guru dapat memberikan beberapa
konteks budaya berbahasa Inggris. Dalam makalah ini saran telah dikemukakan
tentang mengapa dan bagaimana guru bahasa Inggris dapat memasukkan pengajaran
budaya secara implisit melalui penggunaan bahasa Inggris sebagai Bahasa pengantar
di kelas dan budaya berbahasa Inggris yang menyertainya. Selain itu guru bahasa
Inggris dapat secara eksplisit membantu siswa dalam tugas lintas budaya untuk
menanyakan apa, bagaimana dan mengapa untuk menganalisis budaya berbahasa Inggris
yang mereka pelajari sebagai bagian dari studi bahasa mereka.
C.
JURNAL KETIGA
Judul Jurnal
ELEMENT
OF POLITENESS IN INTERCULTURAL COMMUNICATION: THE CASE STUDY OF JAPANESE AND
MALAYSIAN TOURISTS
ELEMEN
KESOPANAN DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA: STUDI KASUS WISATAWAN JEPANG DAN
MALAYSIA
Penulis
Roslina
Mamat1, Roswati Abdul Rashid2, dan Rokiah Paee3
1Penulis
Pertama dan Penghubung: Profesor Madya Dr. Roslina Mamat, Jabatan Bahasa Asing,
Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi, Universiti Putra Malaysia (UPM), Serdang,
Selangor, Malaysia. Email: linamm@upm.edu.my
2Penulis
Kedua: Dr. Roswati Abdul Rashid, Pensyarah Kanan, Jabatan Bahasa dan
Komunikasi, Pusat Pendidikan Asas dan Berterusan, Universiti Malaysia
Terengganu (UMT), Kuala Nerus, Terengganu, Malaysia. Email: roswati@umt.edu.my
3Penulis
Ketiga: Dr. Rokiah Paee, Pensyarah Kanan dan Penyelaras Kursus, Fakulti Bahasa
dan Komunikasi, Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS), Kota Samarahan, Sarawak,
Malaysia. Email: prokiah@unimas.my
Publikasi
WILAYAH:
Jurnal Internasional Kajian Asia Timur, Vol. 10, No.2, 2021, hlm.58-75.
doi.org/10.22452/IJEAS.
Volume 10, Nomor 2.5
Reviewer
Febi Saiful Mujab / NPM: 062308001
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu
Komunikasi
STISIPOL Candradimuka Palembang
Diakses Pada Tanggal
Sabtu,
01 Juli 2023, Pukul 14.00 WIB
Latar Belakang Penelitian
Komunikasi
merupakan hal mendasar dalam kehidupan manusia untuk menyampaikan informasi dan
keinginan individu, organisasi publik dan swasta. Seiring berjalannya waktu,
komunikasi menjadi lebih luas dengan melibatkan banyak pihak. Pada awalnya,
manusia digambarkan hanya memiliki alat komunikasi yang sederhana dan
menggunakan bahasa isyarat karena keterbatasan kode bahasa yang diciptakan saat
itu. Kini dengan sistem komunikasi yang semakin canggih, keragaman media sosial
dan dunia yang semakin berkembang, terbuka dan mudah dijelajahi, menjadikan
pesan dan informasi cepat dan mudah sampai ke sasaran penerima. Komunikasi dua
arah tidak lagi hanya melibatkan pembicara dengan pendengar atau penulis dengan
pembaca tetapi melibatkan perusahaan telekomunikasi atau penerjemah. Wisatawan
masih menggunakan jasa pemandu wisata, kamus atau aplikasi khusus untuk memudahkan
perjalanan atau mencari informasi tentang suatu lokasi atau produk wisata.
Kedatangan
wisatawan Jepang ke Malaysia selalu menduduki peringkat sepuluh besar tangga
lagu dalam 20 tahun terakhir. Sementara itu, Jepang telah menjadi negara
pilihan Malaysia selama 10 tahun dibandingkan negara lain. Oleh karena itu,
komunikasi pariwisata dalam konteks lintas budaya antara Malaysia dan Jepang
penting untuk dibandingkan sebagai referensi untuk meningkatkan keterampilan
komunikasi lintas budaya para pekerja pariwisata yang terlibat. Artikel karya
ini membahas struktur eksternal percakapan bahasa Jepang antara penutur asli
bahasa Jepang dengan pemandu wisata Malaysia dan penutur asli Bahasa Melayu
dengan pemandu wisata Jepang.
Belum
ada penelitian yang dilakukan oleh peneliti lokal sebelumnya mengenai analisis
percakapan bahasa Jepang yang menyentuh unsur kesantunan dalam percakapan
antara pemandu wisata dan turis dalam bahasa Jepang kecuali Roslina Mamat dan
Roswati Abdul Rasyid. Roslina Mamat adalah peneliti bahasa Jepang pertama yang
mempelajari analisis percakapan bahasa Jepang sejak tahun 2004, sedangkan
Roswati Abdul Rashid mengkhususkan diri pada interaksi dua arah antara pemandu
wisata dan wisatawan yang menggunakan bahasa Jepang. Oleh karena itu, pada
bagian ini penulis membahas perkembangan analisis wacana dari awal sampai
sekarang, agar para peneliti baru yang tertarik dengan bidang analisis wacana
dapat lebih mudah memahaminya.
Tujuan
Penelitian
dalam jurnal bertujuan untuk menyajikan data perbandingan komunikasi pariwisata
dalam konteks lintas budaya antara Malaysia dan Jepang penting untuk
dibandingkan sebagai referensi untuk meningkatkan keterampilan komunikasi
lintas budaya para pekerja pariwisata yang terlibat.
Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi guru bahasa Jepang dalam menemukan pendekatan
atau teknik yang tepat dalam merencanakan rencana pembelajaran khususnya pembelajaran
bahasa Jepang untuk pariwisata. Kedepannya, diharapkan ada peneliti bahasa
Jepang lainnya yang dapat meneliti pola bicara pemandu wisata lokal dalam
jumlah yang lebih banyak sehingga temuan penelitian lebih akurat. Hal ini
dikarenakan walaupun pada dasarnya total empat sesi percakapan wisata dalam
penelitian ini telah mencapai tingkat yang cukup untuk sebuah penelitian kualitatif,
namun kemungkinan masih ada faktor lain yang menentukan pola tuturan jika
responden yang digunakan lebih banyak.Studi ini berkontribusi pada kesadaran
dan kebutuhan untuk memasukkan kompetensi komunikatif antar budaya ke dalam
program pariwisata yang dapat menghasilkan lulusan yang berpengetahuan luas dan
siap untuk lingkungan kerja multibahasa dan multikultural.
Studi Data Penelitian
Data
penelitian diperoleh dari empat sesi percakapan dalam bentuk wisata Perjalanan Mandiri
Gratis atau Free
Independent Travel
(FIT) telah dilakukan di Melaka dan Tokyo. Dua sesi percakapan menggunakan Bahasa
Jepang oleh tour guide Malaysia dengan turis Jepang dan dua sesi percakapan
menggunakan bahasa Jepang oleh tour guide Jepang dengan turis Malaysia.
Perekaman video, audio, visual, observasi dan catatan dilakukan untuk
mendapatkan data tersebut. Rekaman itu juga didampingi oleh peneliti studi yang
merekam pembicaraan dan membuat catatan.
Sesi
paket tur FIT ini dilakukan di sekitar destinasi wisata Melaka di Malaysia,
Tokyo dan Yokohama di Jepang. Lokasi ini dipilih karena merupakan destinasi
wisata utama dan belum pernah dikunjungi oleh wisatawan yang terlibat dalam
penelitian ini.
Dua
kategori responden dilibatkan dalam penelitian ini, yaitu pemandu wisata dan
wisatawan. Mereka terdiri dari dua pemandu wisata Malaysia berbahasa Jepang dan
dua pemandu wisata asli berbahasa Jepang. Sedangkan responden dari kategori
wisatawan adalah dua wisatawan Jepang dan dua wisatawan Malaysia yang terlibat
dalam penelitian ini.
Metodologi Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menerapkan pengamatan sistematis
terhadap interaksi selama sesi kunjungan wisata. Pendekatan ini menitikberatkan
pada kajian terhadap suatu fenomena atau situasi dalam konteks nyata atau
alamiah. Melalui pendekatan ini pemahaman yang mendalam tentang karakteristik
eksternal bahasa dan hubungannya dengan budaya dalam konteks percakapan antara
pemandu wisata dan wisatawan dapat diidentifikasi.
Hasil Penelitian
Analisis
data menunjukkan banyak kesamaan dalam pemilihan kosakata dan bentuk kata kerja
tertentu oleh pemandu wisata Jepang dan Malaysia untuk menunjukkan kesantunan
dan keramahan dalam percakapan. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan bahasa
Jepang pemandu wisata Malaysia hampir setara dengan pemandu wisata Jepang.
Data
menunjukkan bahwa pemandu wisata Malaysia menggunakan fitur kesopanan hampir
dua kali lipat dibandingkan pemandu wisata Jepang. Hal ini terjadi karena
pemandu wisata Malaysia telah memahami betul budaya Jepang dan bahasa yang
sesuai saat berinteraksi di bidang jasa. Orang Jepang juga merasa tidak nyaman
ketika penutur asing mengabaikan 'standar sosial' saat berkomunikasi dengan
penutur asli. Secara langsung atau tidak langsung penutur asli diyakini
memiliki 'tingkatan' yang lebih tinggi daripada penutur non-asli jika sama-sama
menggunakan bahasa Jepang. Hal demikian tidak terjadi jika kedua belah pihak
menggunakan bahasa Inggris yang tidak memiliki sistem kesopanan yang kompleks dibandingkan
dengan bahasa Jepang.
Kesimpulan
Penelitian
ini telah mencapai tujuan yang telah digariskan dan temuan penelitian ini
memberikan sorotan tambahan terhadap penelitian sebelumnya dengan
mengeksplorasi detail struktur eksternal percakapan bahasa Jepang oleh Tourist Guide (TG) saat melakukan tur wisata. Meskipun
studi menemukan bahwa struktur eksternal bahasa Jepang yang digunakan Malaysian Tourist Guide (MTG) sebanding dengan Japanese Tourist Guide (JTG), namun penekanan pada penguasaan
aspek ini masih perlu diperkuat. MTG tidak hanya perlu menguasai bahasa Jepang
secara mahir tetapi juga perlu mengidentifikasi hakikat bahasa dan unsur budaya
yang mendasari tata Bahasa suatu peristiwa komunikasi. Hal ini dikarenakan
perilaku berbahasa seseorang dipengaruhi oleh normanorma budaya masyarakatnya
yang sudah mendarah daging dalam dirinya yang akan membentuk pola tutur
seseorang. Etika berbahasa sangat penting untuk kelancaran komunikasi.
